GfG5BUOlGSMpTpM5TUM7Gfr7BA==
Light Dark
Sejarah Penyebaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di Indonesia

Sejarah Penyebaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di Indonesia

Daftar Isi
×


Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) merupakan paham Islam yang berpegang pada empat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), akidah Asy’ariyah-Maturidiyah, serta tasawuf Imam Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Penyebarannya di Indonesia berlangsung secara bertahap melalui berbagai jalur, terutama perdagangan, dakwah Wali Songo, peran kesultanan Islam, hingga munculnya organisasi keislaman modern seperti Nahdlatul Ulama (NU).  

1. Masuknya Islam ke Indonesia (Abad ke-7 – 13 M)
Islam mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M melalui jalur perdagangan yang melibatkan pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Gujarat (India). Beberapa wilayah yang menjadi pusat awal penyebaran Islam:  

- Pantai Barat Sumatra (Barus, Aceh) → Bukti keberadaan Islam ditemukan pada makam Muslim di Barus yang berasal dari abad ke-9 M.  
- Samudera Pasai → Menjadi kesultanan Islam pertama di Indonesia pada abad ke-13.  
- Jawa dan Kalimantan → Pedagang Muslim mulai berdakwah kepada masyarakat setempat.  

Islam yang masuk pada periode ini masih bercorak sufistik dan terbuka terhadap budaya lokal, sehingga diterima dengan mudah oleh masyarakat yang sebelumnya beragama Hindu-Buddha.  


2. Peran Wali Songo dalam Penyebaran Aswaja (Abad ke-14 – 16 M)  
Pada abad ke-14 hingga ke-16, penyebaran Islam semakin pesat di Pulau Jawa berkat dakwah Wali Songo. Mereka menggunakan pendekatan budaya, pendidikan, dan kesenian agar Islam mudah diterima oleh masyarakat Jawa.  

Tokoh-Tokoh Wali Songo dan Metode Dakwahnya  
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) → Menyebarkan Islam melalui perdagangan dan pertanian.  
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) → Mendirikan pesantren dan mengajarkan akidah Asy’ariyah serta fikih Syafi'i.  
3. Sunan Bonang → Menggunakan seni musik gamelan dalam dakwah.  
4. Sunan Drajat → Berdakwah dengan pendekatan sosial, membantu fakir miskin.  
5. Sunan Kudus → Menggunakan simbol-simbol Hindu-Buddha untuk menarik simpati masyarakat (misalnya Masjid Menara Kudus yang menyerupai candi).  
6. Sunan Giri → Mendirikan pesantren dan menyebarkan Islam di Nusantara hingga Maluku.  
7. Sunan Kalijaga → Menggunakan wayang kulit dan seni sebagai media dakwah.  
8. Sunan Muria → Berdakwah di pedesaan dengan pendekatan agraris.  
9. Sunan Gunung Jati → Menyebarkan Islam di Cirebon dan Banten.  

Paham Aswaja yang dibawa oleh Wali Songo bercorak fikih Syafi'i, akidah Asy'ariyah, dan tasawuf. Model dakwah mereka yang akomodatif terhadap budaya lokal menyebabkan Islam berkembang pesat di Jawa dan sekitarnya.  

3. Peran Kesultanan Islam dalam Penyebaran Aswaja (Abad ke-16 – 18 M)  
Setelah Islam berkembang di Jawa, beberapa kesultanan Islam memainkan peran penting dalam memperkuat paham Aswaja:  

- Kesultanan Demak → Dipimpin oleh Raden Patah dan didukung oleh Wali Songo sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa.  
- Kesultanan Banten → Menggunakan pendekatan sufistik dalam dakwahnya.  
- Kesultanan Aceh → Mendorong kajian Islam Aswaja melalui ulama seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf Singkel.  
- Kesultanan Mataram Islam → Sultan Agung menyebarkan Islam di wilayah pedalaman Jawa.  
- Kesultanan Gowa-Tallo (Sulawesi Selatan) → Dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan mengadopsi Islam Aswaja setelah menerima dakwah dari Datuk Ri Bandang.  

Dalam periode ini, Islam semakin mengakar dalam budaya masyarakat Nusantara, terlihat dari berkembangnya hukum Islam dalam pemerintahan dan kehidupan sosial.  


4. Peran Pesantren dan Ulama dalam Memperkokoh Aswaja (Abad ke-18 – 20 M)  
Pesantren menjadi pusat pendidikan Islam yang memperkokoh paham Aswaja di Nusantara. Beberapa ulama besar yang berperan dalam penguatan Aswaja:  

- Syaikh Nawawi al-Bantani (Banten) → Ulama Aswaja yang mengajar di Makkah dan menulis banyak kitab yang dipelajari di pesantren.  
- Syekh Arsyad al-Banjari (Kalimantan) → Mengajarkan Islam Aswaja di Kalimantan Selatan.  
- KH Hasyim Asy’ari (Jawa Timur) → Pendiri pesantren Tebuireng dan Nahdlatul Ulama (NU).  

Pesantren-pesantren berbasis Aswaja banyak berdiri di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, menjadi tempat pendidikan bagi santri yang kemudian menyebarkan Islam ke berbagai daerah.  


5. Munculnya Organisasi Islam Aswaja (Abad ke-20 – Sekarang)  
Pada abad ke-20, muncul organisasi Islam yang mempertahankan paham Aswaja:  

Nahdlatul Ulama (NU) – 1926  
Didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri, NU menjadi organisasi terbesar yang berpegang teguh pada Aswaja. NU berperan dalam:  
- Mempertahankan mazhab Syafi’i dalam fikih.  
- Menyebarkan akidah Asy’ariyah-Maturidiyah.  
- Mengembangkan pendidikan berbasis pesantren.  
- Berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.  

Selain NU, ada beberapa organisasi Islam lain yang memiliki pengaruh dalam dakwah Aswaja, meskipun dengan pendekatan yang berbeda, seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan beberapa kelompok tarekat sufi.  

6. Aswaja di Era Modern dan Tantangannya  
Hingga saat ini, paham Aswaja masih menjadi arus utama Islam di Indonesia. Namun, ada beberapa tantangan yang dihadapi:  

- Modernisasi dan Globalisasi → Munculnya pemikiran Islam baru yang lebih rasional dan kritis.  
- Gerakan Salafi-Wahabi → Munculnya kelompok yang mengkritik praktik Aswaja, terutama dalam hal tasawuf dan tradisi keagamaan.  
- Radikalisme dan Liberalisme → Tantangan dari kelompok ekstrem baik dari sisi kanan (radikalisme) maupun kiri (liberalisme).  

Untuk menghadapi tantangan ini, NU dan pesantren terus memperkuat ajaran Aswaja dengan pendekatan moderasi beragama (Islam Wasathiyah).  

Kesimpulan  
Penyebaran Aswaja di Indonesia berlangsung secara bertahap melalui pedagang Muslim, Wali Songo, kesultanan Islam, pesantren, dan organisasi keislaman. Keberhasilan Aswaja dalam bertahan hingga kini disebabkan oleh kemampuannya beradaptasi dengan budaya lokal, pendekatan dakwah yang moderat, serta peran pesantren dalam menjaga tradisi keislaman di Indonesia.

0Komentar